Bengawan Sore #9

Sore itu berjalan seperti biasa, secangkir kopi dan sebuah notebook menemaniku menghabiskan waktu selepas pekerjaan di kantor. Jalanan kota Amsterdam makin ramai oleh kaum pekerja yang hendak pulang. Terdiam aku memandangi hamparan bunga berwarna peach di pelataran kafe tempatku menyendiri. Kanal-kanal yang tak pernah sepi itu seakan selalu menarik bagi pandanganku.

"ora kroso wis sepuluh taun aku neng kene, wis wayahe aku mulih"

Sudah kumantapkan dalam hati, aku akan kembali ke Indonesia. Bukannya aku bosan dengan pekerjaanku sebagai kepala teknisi di sebuah perusahaan perkapalan di kota ini, tapi jika melihat kondisi ibu yang semakin tua aku tak tega untuk tak menemaninya lagi.

Beberapa hari kemudian segera aku mengajukan permohonan resign dari perusahaan tempatku bekerja. Pekerjaan bisa dicari lagi, atau mungkin aku akan memulai bisnis kecil-kecilan sendiri nanti setibanya di tanah air, yang terpenting adalah aku ingin pulang.

* * *

Touchdown Soekarno - Hatta Airport! - via path.

Akhirnya perjalanan panjang ini berakhir. Tanah ini, udara ini, orang-orang ini; semua inilah yang selama ini aku rindukan. Entah kenapa selalu ada rasa bahagia yang meledak-ledak bagai kembang api tahun baru setiap aku kembali menginjakkan kaki di tanah ini. Segera kucari taksi dan menuju daerah sunter, aku memang tak langsung melanjutkan perjalanan pulang ke rumah, ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan dengan temanku. Beberapa tahun yang lalu aku dan temanku Bandi mendirikan sebuah perusahaan kecil-kecilan di bidang ekspedisi barang dan kargo, walaupun belum terlalu besar tapi hasilnya sudah lumayan untuk ukuran perusahaan baru.

* * *

Handphoneku berdering, lampu led berwarna biru itu nampak berkedip-kedip menandakan sebuah notifikasi BBM masuk. Anita.

"wah.. ada yang pulang nggak kasih kabar nih"

Aku balas pesan Anita dengan emot senyuman, sekejap kemudian dia langsung membalas lagi.

"Mas Dhika masih di Jakarta kan, ketemuan yuk, aku tunjukin tempat yang asik deh nanti"

Kepalaku berpikir keras saat itu, tak biasanya aku agak sedikit grogi dalam menghadapi seorang wanita. Matanya yang tajam, senyumnya yang menawan, dan tawanya yang renyah kembali terbayang di kepalaku. Ada perasaan yang berkecamuk di hatiku. Ada perasaan bersalah setiap aku mulai membuka hati untuk wanita lain. Jujur, sebagian hatiku masih ada bersama Shinta. Mungkin aku sedikit egois, tapi memang sudah saatnya aku melupakan Shinta dan semua tentangnya. Sudah sepantasnya aku membiarkan dia hidup bahagia bersama keluarganya. Bukannya aku tak lagi cinta, tapi ini semua demi dia, ini semua demi Tian pula.

Kubalas pesan dari Anita, "oke deh, tapi nggak bisa lama-lama ya"


Penulis: Roviandifa Prasetyo / @diponk__

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer