Bengawan Sore

Langit kota Solo siang itu terlihat cerah, terlihat sekumpulan awan putih berarakan membentuk pola perdu ilalang semu. Angin bertiup lembut dengan syahdu, melagukan syair rindu dari hati yang tak kunjung bertemu.

"kamu ada acara nggak Shin?", tanyaku kepada Shinta di ujung saluran telepon.
"nggak ada mas, emang arep ngopo?", jawab Shinta agak malas.
"jalan-jalan yuk, suntuk nih..."
"kemana?", tanya Shinta agak bersemangat.
"sak karepmu lah, bentar lagi tak jemput ya.."
"oke.. tapi aku males mandi. hehehe..", sahut Shinta.
"halah.. nggak usah mandi kowe udah cantiknya naudzubillah nduk.."
"haiyaah.. gombalanmu ora mempan mas buatku, cih!", jawab Shinta sambil terbahak.

Setengah jam kemudian aku sudah sampai di rumah Shinta di Sukoharjo. Jarak Wonogiri - Sukoharjo memang tak terlalu jauh, motor bebekku bisa sedikit menyombongkan diri bisa melahapnya dalam waktu 15 menit.

"ayo berangkat mas..", teriak Shinta sambil keluar dari rumah.
"lhoh.. nggak pamitan dulu sama Ibuk?", tanyaku.
"Bapak Ibuk ada acara di gereja, pulangnya paling malam nanti. aku wis pamitan mau", jawab Shinta sambil naik ke jok motorku.

Motorku segera melaju ke arah kota Solo. Entahlah mau kemana tujuan kami berdua, sudah menjadi kebiasaan kami kalo lagi suntuk muter-muter ngabisin bensin subsidi dari pemerintah buat keliling kota. Cuaca kota Solo hari itu cukup panas, kami berdua lalu mampir makan es campur di depan lapangan kota barat. Sebuah rumah makan yang cukup nyaman untuk nongkrong berdua, namanya Es Kobar, di sana ada live musiknya pula.

"Habis dari sini kita kemana nih?", tanyaku memulai obrolan dengan Shinta.
"bentar to mas, esnya masih enak nih. jangan buru-buru pergi.."

"yo aku kan takut nanti pulangnya kemaleman kayak kemaren dulu itu, trus kowe diskorsing nggak boleh main sama bapakmu yang kumisnya kayak Pak Raden itu sampai seminggu", sahutku sambil cengengesan.

"woo.. berani ya mas Dika ngatain bapakku kayak Pak Raden, awas nanti tak bilangin kapok kowe", kelakar Shinta sambil bibirnya monyong karena masih mengunyah es campur.

"hahaha.. kandhakno ora wedhi. udah tak mbayar dulu, tuh esnya buruan dihabisin", sahutku sambil ngacir ke meja kasir.

Selesai menikmati es campur di kota barat akupun kembali mengajak Shinta muter-muter kota Solo. Manahan, Pura Mangkunegaran, Sriwedari, Jalanan Slamet Riyadi sampai Alun-alun Gladak kami lalui sambil bercanda. Hari sudah menjelang sore, akupun mengajak Shinta pulang.

"eh mas, nanti berhenti dulu di jembatan bacem ya. tak kasih lihat sesuatu deh, pokoknya mas Dika pasti suka"

"apaan sih, jangan bilang mau nunjukin nenek-nenek lagi mandi di pinggir kali ya. tak cemplungin kowe nanti"

"ada deh.. pokoknya uaapik biyanget. hehehe..", jawab Shinta sambil cengengesan.

Hari sudah beranjak senja saat aku dan Shinta sampai di jembatan Bacem. Jembatan ini adalah sebuah jembatan yang menghubungan kota Solo dengan Sukoharjo, tepatnya di daerah Grogol. Segera kuparkirkan motorku, aku dan Shinta berjalan menyisir trotoar jembatan itu.

"lihat mas, langit senja di sini bagus kan, aku suka banget melihat senja di sini. pantulan warna lembayungnya di permukaan bengawan yang mengalir tenang itu seakan nggak ternilai harganya buatku"
"iya..", jawabku singkat sambil melihat wajah Shinta.

Tiba-tiba Shinta menggenggam tangan kiriku yang sedang berpegangan di jembatan, kubiarkan saja hal itu, tak bisa kupungkiri akupun menikmati saat-saat ini. Tak terasa aku dan Shinta sudah berteman lebih dari setahun sejak pertemuan pertama itu di Bus Jurusan Wonogiri-Solo di suatu pagi. Mungkin sebenarnya hatiku ini tak rela jika kami hanya berteman saja, tapi apa daya jurang pemisah di antara kami terlalu dalam untuk kuseberangi. Kutatap wajahnya yang bersinar keemasan diterpa sinar matahari senja, rambutnya yang agak ikal lembut berayun tertiup angin selatan. Shinta memang cantik, tapi gerangan apa yang membuatnya masih belum memiliki kekasih hingga saat ini aku juga tak tahu. Tiap kutanya pasti dia hanya menjawab belum ingin pacaran dulu, aku anggap itu jujur mengingat bahwa dia juga masih kelas 2 SMA di SMA Kristen 1 Solo.

"udah hampir gelap nih, mau sampai kapan nih nangkring di jembatan gini?", tanyaku memecah lamunan Shinta.

Tiba-tiba Shinta mencium pipi kiriku,
"aku sayang kamu mas Dika..."
"heh... kowe iki ngomong opo Shin? pake cium-cium pipi segala, nggak lucu ah.."
"aku sayang kowe mas, tenan...", jawab Shinta singkat.

"aku juga sayang kamu kok... tapi kamu tahu kan, kita ini berbeda. nggak mungkin Bapak dan Ibukmu setuju kalo kita berhubungan lebih dari berteman", jawabku sambil membelai wajah Shinta yang sedikit tertunduk.

"lalu sampai kapan aku nunggu mas? aku cuma sayang sama mas Dika, nggak ada yang lain. lantas apa artinya kebersamaan kita selama ini? apa artinya pelukan mas Dika saat aku terjatuh dan tersakiti? apa artinya ciuman di keningku setiap mas Dika mengantarku pulang sampai di depan gerbang rumah? apa artinya aku mencintai mas Dika jika mas Dika ternyata nggak mau membalasnya? jawab mas, jawab...". Suara Shinta mulai terisak tangis.

Wajah Shinta semakin tertunduk, air matanya mulai menganak sungai. Lembayung senja tercermin di pipinya yang basah oleh air mata. Ku akui, aku mencintainya. Aku mencintainya melebihi egoku sebagai manusia. Aku mencintainya hingga aku tak sanggup untuk berkata "iya" saat dia menanyakannya.

* * *

Sepuluh tahun berlalu, kota ini nampak tak berbeda bagiku. Mungkin hanya sedikit yang berubah, di beberapa sudut kota ini sekarang mulai di bangun mall-mall layaknya kota metropolitan. Hartono Mall, nama yang agak lucu bagiku. Mobilku mulai melaju ke arah Solo Baru, lamunanku tiba-tiba melayang kepada Shinta. Mungkin saat ini dia sudah bahagia. Mungkin saat ini dia sudah berhasil menjadi penyiar radio seperti cita-citanya dulu, atau mungkin saja saat ini dia malah sudah berkeluarga dan sedang di beranda rumahnya sambil mengajak anaknya main lempar batu bersama Miki anjing kesayangannya. Mungkin saja...

Jembatan itu nampak di ujung jalan sana. Tak ada yang berbeda, jembatan yang sama, senja yang sama pula. Kunyalakan audio di dashboard mobilku, terdengar lagu kesukaanku menemaniku melintasi jembatan yang seakan seperti mesin waktu bagiku. Bengawan Sore.

Ning pinggiring bengawan
Wayah sore tan soyo kelingan
Gawang-gawang esemmu cah ayu
Gawe sedihing atiku


bersambung ke sini →Bengawan Sore #2

Komentar

  1. cerpennya bagus :-) meski ceritanya biasa, tapi caranya menyajikan dengan mengangkat bahasa jawa, bikin cerpen ini unik. aku senyum-senyum sendiri baca cerpen ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. bikin dialog ala-ala FTV yg ke-jogja-jogja-an atau ke-solo-solo-an itu lumayan ribet juga yo ternyata, tapi lucu. tak belajar terus, aku pengen isoh nulis koyo sampeyan mbak :)

      Hapus
  2. Apik mas cerpen'e. Iki cerita pribadi opo fiksi?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer