Suasana bangsal pediatric di rumah sakit marga husada di kota karang kadempel nampak seperti biasa. Banyak ranjang yang kosong, hanya beberapa saja yang terisi, kira-kira tak sampai 8 anak. Sesekali terdengar suara rengekan anak kecil yang ingin turun dari ranjang karena merasa bosan berada di dalam bangsal yang suasananya mungkin cukup traumatis bagi anak-anak.
Suasana mendadak riuh,
terlihat dari arah koridor beberapa mahasiswa co-schaap (koas) berjalan menuju
bangsal pediatric yang letaknya berada di ujung koridor beratap genteng warna
coklat tua yang mulai berjamur itu. Jas putih mereka terlihat kontras dengan
tiang selasar yang sepertinya sudah lama tidak dicat ulang.
Yang cukup menyita perhatian
adalah di antara mereka terdapat beberapa mahasiswa exchange dari negeri
Belanda, londo cewek, noni-noni lah kalo mbah-mbah kita dulu menyebutnya.
Rambutnya coklat terang sebahu, matanya biru, hidungnya mancung seperti artis
Hollywood. Kalo digambarkan sekarang mungkin mirip dengan pemeran Black Widow
di film Avengers, Scarlett Johannson. Ayu kimplah-kimplah pokoknya.
Namanya juga Ryu, nggak bisa
dalam sehari aja kalo nggak iseng bin usil. Apalagi ketika melihat di depan
matanya ada noni-noni kompeni ayu kimplah-kimplah sedang guyon di depan bangsal
pediatric, seketika jiwa isengnya bergelora laksana semangat golongan pemuda Soekarnois
ketika mendapat seruan ganyang Malaysia.
Berbekal pengalamannya dari bermain ludruk
dengan grup ludruk kontemporer di kampus, bedes bernama Ryu itu berlagak
seperti tuan tanah kompeni sambil berjalan menghampiri mahasiswa bule nan
semlohe itu. Dengan gaya Bahasa londo ala ludruk Ryu berkata: “En kita suda lama merdeka tapi kok masih
ada kumpeni di sini?”
Mendengar kata-kata Ryu itu
sontak cewek londo itu menyahut: “Enggih
mas, kulo kompeni”. Ryu kaget, tapi nggak kaget banget sih, nggak sampai teriak
“ayam-ayam” kayak bapak angkatnya
Bertrand Peto. Agak mak dheg hati Ryu
ketika tahu noni-noni Belanda itu ternyata bisa Bahasa Jawa. Bahasa yang
notabene adalah Bahasa baboe-baboe kakek moyang mereka di Hindia Belanda.
Cewek Belanda itu kemudian berbisik-bisik
ke teman Belandanya yang cewek juga sambil cengar-cengir.
“Hij
weet niet dat mijn opa in Java woonde” yang
kalo ditranslate ke Bahasa Indonesia artinya: “Nggak tahu dia kalo kakek saya tinggal di Jawa”.
Ibarat mendapat backhand smash
yang tidak terduga, Ryu merasa diperolok. Dia kemudian membalas noni-noni itu
dengan Bahasa ibu mereka: “Weet je dat
Jan Pieterszoon Coen de beste vriend van mijn overgrootvader was?” yang
artinya: “Apa kamu tahu kalo Jan
Pieterszoon Coen itu adalah teman baik kakek buyut saya?”
Gantian sekarang noni-noni
belanda itu yang melongo mendengar kata-kata Ryu. Londo cewek itu kaget akan 2
hal, pertama mereka nggak menyangka bahwa bedes inlander yang bernama Ryu itu ternyata bisa Bahasa Belanda dengan
fasih. Kedua, mereka nggak tahu siapa itu Jan Pieterszoon Coen.
“Dasar
londo durhaka, mosok leluhur sendiri dilupakan”, ucap
Ryu sambil bibirnya nyoro-nyoro.
Akhirnya dua jam ke depan Ryu memberi kuliah singkat kepada dua noni belanda
itu tentang sejarah VOC, dari mulai berdiri sampai bangkrutnya. Lengkap dengan
perang melawan Jaka Sembung featuring Walet Merah.
Memanglah sesebedes bernama
Ryu itu punya banyak kelebihan. Selain punya bakat nggak bisa lupa, dia juga
punya kelebihan kalo sudah mulai cerita nggak bisa mandeg kalo ceritanya belum
selesai. Gayanya ketika ngecuwis
nggak kalah dengan influencer kondang sedang ngeracunin audiensnya untuk
trading saham. Saking khusyuknya dalam bercerita, Ryu sampai nggak sadar kalo
di belakangnya sudah ada konsulen (dosen) sedang ikut mendengarkan.
Setelah cerita Ryu sampai pada
bagian geblaknya VOC baru si dosen nyeletuk: “Kamu ini bukannya ngajak mereka ke bangsal, lha kok malah ndongeng
nggak karuan!”.
Kagetlah Ryu mendengar suara
dosennya, dia nggak menyangka kalo sing mbahurekso bangsal pediatric sudah
berdiri di belakangnya.
“Sebentar
dok, ini belum selesai, Herman Willem Daendles belum datang ini dok…”. Spontan
Ryu menjawab.
Dosennya langsung tertawa. “Arek gendeng!!! Ayo wis terusno nang
kantin”.
Akhirnya sesi kuliah pediatric
hari itu berganti agenda menjadi sesi kuliah sejarah di kantin. Berjalanlah
rombongan koas dan dosen konsulen pedriatric itu ke kantin dengan dipimpin oleh
Ryu yang gaya berjalannya masih berlagak seperti tuan tanah kompeni sedang
menggelar sidak ke kebun kekuasaannya. Dua noni Belanda yang mengikuti di
belakangnya berjalan sambil mesam-mesem melihat tingkah konyol Ryu.
Usut punya usut ternyata
dosennya penasaran juga dengan lanjutan cerita Ryu, dan apesnya ternyata jalan
cerita yang disampaikan oleh Ryu ternyata melukai perasaan dosen itu yang
merupakan seorang Soekarnois sejati.
Selanjutnya adegan kuliah
sejarah di kantin RS itu bisa ditebak, Ryu dan dosennya terlibat debat kusir
yang nampaknya nggak ada bedanya dengan perdebatan cebong vs kampret atau
perdebatan kaum bumi mbleber vs kaum bumi bunder, ora ono ujunge. Akhirnya
setelah ngecuwis selama 2 jam lebih dan menghabiskan 2 gelas es teh, semangkok
soto beserta 5 lauk pendamping berupa ote-ote dan tempe mendoan, dosen itu
angkat bicara: “Dik.. kamu besok kalo
ujian sama saya ya”.
“Modyaaaar”,
batin Ryu. Nasib buruknya berulang lagi seperti
ketika di bagian penyakit dalam. Dan benar saja, ketika ujian pediatric Ryu
mendapat special request. Dia diuji oleh dosen yang menaruh dendam kesumat
padanya. Alhasil, Ryu menjadi bahan tertawaan teman-teman satu batch-nya.
Singkat cerita tibalah saatnya
ujian pediatric. Undian pasien untuk ujian sudah dilakukan, Ryu mendapat bagian
anak balita dengan Acute Lymphoblastic Leukemia.
Ujian step pertama yaitu pemeriksaan fisik, nggak ada problem dalam hal
ini. Masalah muncul ketika Ryu harus mengambil sampel darah dan urin dari bocah
itu, anaknya teriak-teriak kayak anak domba kehilangan induknya. Trenyuhlah
hati Ryu. Segendeng-gendengnya Ryu, tapi kalo udah urusan sama anak kecil dia
itu paling tidak tegaan. Akhirnya dia nekat pakai darah dan urine sendiri untuk
dijadikan sampel.
Bagai bom waktu yang sudah
kehabisan waktu hitung mundurnya, masalah yang disulut oleh Ryu akhirnya
terjadi juga. Hasil pemeriksaaan laboratorium dari sampel darah dan urine sudah
keluar. Hasilnya menunjukkan parameter normal, lha yo jelas wong itu darah dan
urine Ryu sendiri. Sejak mutusin untuk memakai darah dan urinenya sendiri
sebagai sample, Ryu sibuk memutar isi kepalanya untuk mencari jawaban yang
ciamik, kok bisa pasien leukemia pemeriksaan lab darahnya normal? Mumet dia,
tapi bukan Ryu namanya kalo nggak bisa nyari akal untuk lolos dari masalah yang
dibuatnya sendiri.
Pukul 10.16 dosen penguji
datang. Tanpa babibu dan tanpa tedeng aling-aling dia langsung megang preparat
hapusan darah lalu dipasang di mikroskop. Sambil masih melihat ke mikroskop
dosen penguji itu bertanya: “Diagnosa
pasienmu apa, dik?”. Wajah Ryu langsung pucet kayak tisu habis dipakai buat
ngelap umbel.
“Diagnosa
klinis leukemia dok”, Ryu menjawab singkat.
“Kok
klinis?”, dosen itu bertanya lagi sambil masih mentelengi
mikroskop.
“Iya
dok klinis, soalnya hasil labnya normal”, Ryu menambahkan.
Mak jegagig dosen itu langsung
menegakkan kepalanya. Bagai gunung berapi wajahnya langsung menyiratkan amarah
yang siap meletus saat itu juga.
“Kamu
bikin ulah apa lagi?”, hardik sang dosen. Ryu hanya
bisa diam sambil berusaha untuk memasang wajah datar sedatar-datarnya. Dia
belum berani untuk menimpali pertanyaan dari dosennya itu.
“Salah
ngomong bisa modar ini aku”, batin Ryu.
“Lha
kok bisa, hasil labnya normal? Ya sudah mulai awal dari anamnesa cobak…”. Akhirnya
ujian pediatric dimulai. Si dosen nampaknya belum sadar bahwa dia akan terlibat
dengan masalah-masalah lain yang akan dibuat oleh Ryu dalam ujian ini.
Ryu memulai ujian dengan wajah
datar dan suara yang dia kondisikan sedemikian rupa agar tidak memancing amarah
dosennya. Mulai dari anamnesa lalu pemeriksaan fisik semua berjalan dengan
lancar tanpa kendala apapun, karena memang dua hal itu dilakukan dengan
prosedur yang benar oleh Ryu. Masalah baru muncul ketika kedua bedes itu
berdiskusi tentang hasil lab darah yang hasilnya nyolo wadi. Jadilah diskusi itu ngalor ngidul nggak jelas sampai
bahas hal-hal lain, sampai merembet ke biokimia, genetika, bahkan sampai
fisika.
Pancen wong legan golek
momongan kalo udah urusan sama Ryu. Dosennya nanya apa, dia jawabnya apa.
Pokoknya jawaban dari Ryu selalu saja memancing pertanyaan-pertanyaan lain yang
membuat diskusi dalam ujian itu menjadi semakin mbulet bin ruwet.
Di satu titik bahkan ujian itu
sampai membahas final All England tahun 1987. Ryu ditanyain dosennya apa
sebabnya Icuk kok bisa sampai kalah melawan Morten Frost Hansen, padahal
biasanya menang terus. Ryu dengan entengnya menjawab: “Ya mungkin aja hari itu hari pengapesannya Icuk, haruse sebelum
bertanding Icuk ngelihat dulu wetonnya itu cocoknya main di hari apa”. Dosennya
makin bludrek.
Lama kelamaan ujian kedokteran
itu makin mirip lomba tujuhbelasan. Si dosen juga udah nggak konsen dan terbawa
oleh permainan lambe dari Ryu. Puncak dari kesabaran sang dosen adalah ketika
mereka membahas soal jadwal pertandingan Liga Perserikatan PSSI. Memang sih
kalo sudah urusan balbalan itu sensitif. Fans fanatic klub bola itu tak ubahnya
seperti bigot agama yang bersumbu pendek, disulut dikit aja pasti langsung
meledak.
Si dosen akhirnya marah-marah
ketika Ryu bilang, “Kalo sampek Persebaya
ketemu PSIS Semarang di final, pasti Persebaya bakal kalah”.
“Nggak
bisa! Persebaya pasti menang!”, dosen itu menyangkal.
“Udah
pasti kalah dok, ora mungkin menang”, kata
Ryu semakin mengompori.
Ucapan Ryu itu sontak membuat
si dosen naik pitam. Meja di depannya digebrak. Bedsitter atau penguji
pendamping yang dari tadi melihat dua bedes itu berdebat sampai njumbul, untung
jantungnya nggak copot karena kaget.
Nggak terasa ujian pediatric
itu sudah berlangsung selama satu jam. Ujian yang tadinya berjalan lancar
mendadak menjadi tegang. Wajah si dokter penguji nampak mucu-mucu menahan
amarah. Perkara Persebaya melawan PSIS barusan seakan mengingatkan soal hasil
lab yang “normal semua” tadi.
“Ya
sudah sekarang kamu jelaskan soal hasil lab pasienmu!!!” Dokter
itu berkata sampai idunya muncrat. Ryu mencoba untuk tetap terlihat tenang,
padahal aslinya jantungnya berdegub kencang seperti kesamber petir.
“Gini
dok, ya memang normal dok soalnya itu tadi pakai darah dan urin saya sendiri”, Ryu
menjelaskan dengan suara pelan karena takut disantlap dokter pengujinya.
“Kon
iku gendeng opo purak-purak gendeng seh? Kon nantang yo?” Kali
ini dokter penguji itu benar-benar sudah tidak bisa mengontrol amarahnya.
Mukanya merah, matanya melotot sampai bola matanya hampir keluar.
“Soalnya
tadi pagi pasien saya sudah diambil darahnya dok, sudah ada hasil labnya juga
ini saya pinjam dari bagian lab. Tadi pas mau saya ambil darahnya lagi anaknya
menjerit-jerit, saya ndak tega dok”, Ryu
mencoba menjelaskan.
“Nggak
bisa gitu!!! Sebagai calon dokter kamu harus bisa dapat sampel darah. Harus!!!”
Ucap dokter penguji itu dengan sedikit
membentak.
Amarah dokter penguji itu
belum mereda juga nampaknya. Penguji pendamping yang duduk di sampingnya mulai
menjaga jarak, jaga-jaga kalo tiba-tiba saja dokter itu menggebrak meja lagi
supaya dia tidak kaget.
Ryu diam sambil memutar otak. “Gimana caranya ya biar saya bisa lolos dari
ujian ini?” batinnya.
“Tadi
itu sebenernya mau saya ambil lagi dok darahnya, tapi ada dokter Riskha,
katanya pasien itu ponakannya. Saya dibilangi nggak usah diambil lagi darahnya
gitu”
Mendengar nama dokter Riskha
disebut mendadak wajah dosen penguji itu berubah menjadi adem. Ryu yang melihat
gelagat itu ibarat Cristiano Ronaldo mendapat peluang emas di depan gawang lawan,
langsung buru-buru dia eksekusi.
“Denger-denger
katanya dokter Riskha itu mantannya pak dokter ya?” Kata
Ryu menambahkan.
Suasana mendadak senyap, dosen
penguji itu menunjukkan ekspresi sumringah ibarat anak kecil yang tadinya
tantrum tiba-tiba jadi nyanyi lagu balonku ada lima setelah diberi es krim oleh
ibunya.
“Ehh…
trus de’e ngomong opo maneh?” dokter itu bertanya
pada Ryu sambil senyam-senyum. Dia nggak sadar bahwa dia sudah menjadi korban
mulut berbisa Ryu.
“Banyak
lah dok, saya tadi juga nanyain hal yang sama ke dokter Riskha. Dia malah
senyam-senyum. Apa saya cerita semua aja di sini? Tapi ada dokter Imam lho dok”
Ryu menjawab sambil melirik penuh arti ke
dokter Imam yang menjadi penguji pendamping saat itu.
“Oh
iyo.. ojok wis, mengko diomong-omongno ambek Imam. Deknen itu rodok ember juga
soale”
Dokter Imam nampaknya sudah
paham akan situasi itu. Sambil tersenyum dalam hatinya dia cuma mbatin, “Pancen lunyu koyo welut bedes siji iki”.
Setelah suasana hening
beberapa saat akhirnya dosen penguji itu berkata: “Wis dek, wis kesuwen iki ujiane. Pertanyaan terakhir yo… tumbuh
kembang kan belum kita bahas, ya?”
“Siap
dok”, Ryu menjawab penuh semangat.
“Anak-anak
itu gigi yang pertama muncul di gusi bawah atau yang atas?” Tanya
dosen penguji itu.
Mendengar pertanyaan itu Ryu
mendadak mak klakep, seingat dia
selama belajar soal embriologi belum pernah nemu jawaban untuk pertanyaan itu.
Beberapa detik kemudian Ryu akhirnya asal menjawab saja biar ujian itu cepat
rampung.
“Yang
pasti yang tumbuh gigi bawah dulu dok, soale kalo yang atas duluan nanti kayak
truwelu”
Mendengar jawaban asal dari Ryu
itu si dosen malah ngakak.
“Wis buyar, bisa stroke aku kalo lama-lama deket-deket kamu. Dasar arek gendeng”. Dokter penguji itu langsung pergi dan ujian pediatric paling absurd sepanjang sejarah itu pun akhirnya selesai.
Komentar
Posting Komentar